Senin, Maret 26, 2012

Hakikat Waktu Luang


Kata luang dapat diartikan sebagai, “Sesuatu yang kosong; kelapangan.”  Sedangkan padanan kata luang yaitu senggang diartikan pula sebagai, “Tidak sibuk, terluang atau lapang (tentang waktu).” Dengan demikian, waktu luang dapat diartikan sebagai waktu yang kosong atau waktu yang menggambarkan saat tidak sibuk.
Berkenaan dengan pengertian waktu luang, Sapora (1961:27) menjelaskan, “The word leisure derives from the Latin, meaning ‘to be permitted’ and is defined in the dictionary as free, unoccupied time during which a person may indulge in rest, recreation, and the like.” Maksudnya kata leisure berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘memperbolehkan’ dan didefinisikan dalam kamus sebagai bebas, waktu tidak sibuk, yang seseorang lakukan untuk istirahat, rekreasi dan kesenangan. Selanjutnya Marjono (1972:10) menjelaskan, “Waktu senggang adalah waktu dimana tidak ada ikatan-ikatan yang mengharuskan seseorang melakukan sesuatu kegiatan.” Kemudian Fischer (1974:17) mendefinisikan waktu luang sebagai berikut: “Leisure is usually thought of as a temporal concept, denoting the time not given to work, maintanance, and sleep …” Maksudnya waktu senggang biasanya dianggap sebagai konsep mengenai waktu yang berarti tidak digunakan untuk bekerja, pemeliharaan dan bukan tidur. Selanjutnya Haryono (1978:51) menjelaskan, “Waktu senggang merupakan suatu periode dimana orang atau individu tidak melakukan kegiatan-kegiatan atau usaha-usaha guna kehidupan primernya.” Lebih lanjut Haryono (1978:33-34) menjelaskan pengertian waktu senggang sebagai, “Waktu kosong pada saat mana orang dapat beristirahat, berekreasi, dan sebagainya. Waktu senggang adalah waktu kelebihan atau waktu pada saat mana orang relatif bebas untuk berbuat sesuatu.” Kemudian Murni dan Saputra (2000:2) mendefinisikan waktu luang sebagai, “Waktu dimana orang bebas dari pekerjaan rutin.” Lebih lanjut dijelaskan, “Esensi dasar dari waktu luang adalah tempo, kemauan sendiri, fokus pada pemenuhan diri, dan mencari kepuasan diri.”
Beberapa pengertian waktu luang tersebut di atas menggambarkan bahwa waktu senggang adalah waktu bebas bagi seseorang untuk melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan keinginannya. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan di luar usaha-usaha untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dan kebutuhan primernya, oleh sebab itu maka kegiatannya tanpa paksaan dan bersifat sukarela.
Untuk mendapatkan gambaran mengenai waktu luang yang dimiliki seseorang dan sekelompok orang, Yoeti (1990:172) menjelaskan, “Ada tiga macam waktu luang yang kita kenal yaitu 1) after-work leisure, 2) week-end leisure, dan 3) holiday leisure time.”
a.       After Work Leisure
After work leisure time merupakan waktu luang setelah bekerja atau melakukan aktivitas rutin setiap hari. Misalnya setelah seorang guru melakukan aktivitas rutin mengajar di sekolah, maka setelah itu ia mempunyai waktu luang dan ia berhak untuk melakukan kegiatan yang bebas sesuai dengan pilihannya, seperti istirahat, memancing, atau melakukan kegiatan lainnya yang bukan kegiatan utama.

b.      Weekend Leisure
Weekend leisure merupakan waktu luang yang dimiliki seseorang setelah bekerja atau melakukan aktivitas rutin selama satu minggu. Biasanya waktu luang yang dimiliki selama dua hari yaitu sabtu dan minggu, itupun bagi mereka yang bekerja pada instansi pemerintah dan swasta yang memberlakukan 5 hari kerja. Sedangkan secara umum, masyarakat menempatkan hari minggu sebagai waktu weekend leisure.

c.       Holiday Leisure
Holiday leisure merupakan waktu luang yang relatif lama dimiliki oleh seseorang setelah bekerja atau melakukan aktivitas rutin selama beberapa waktu yang lama. Waktu luang tersebut dapat satu minggu, dua minggu bahkan satu bulan, bergantung pada kebijakan yang diberikan lembaga atau instansi dimana ia bekerja. Holiday leisure ini biasanya berbentuk cuti kerja, pekan sunyi menghadapi ujian bagi pelajar dan mahasiswa.
Waktu luang dapat dikelompokkan berdasarkan jenis waktu dan kegiatannya. Sapora (1961:27) menggelompokkannya dalam Tabel 1.2

TABEL 1
TIME
Type of Time
How Used
Existence
Eat
Sleep
Bodily care
Subsistence
Work
Leisure
Play-Recreation
Rest

Berdasarkan Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa waktu yang dimiliki setiap individu terbagi dalam 1) waktu untuk kelangsungan hidup melalui aktivitas makan, tidur, dan memelihara tubuh, 2) waktu untuk mencari nafkah hidup melalui aktivitas kerja, dan 3) waktu luang melalui aktivitas bermain, rekreasi dan istirahat.
        Kegiatan pada waktu senggang bagi setiap individu akan memberikan manfaat apabila kegiatan-kegiatan yang dilakukannya bersifat positif dan berfungsi sebagai sarana pengembangan diri. Kegiatan-kegiatan dalam waktu senggang ini bersifat relaksasi, hiburan dan pengembangan diri. Mengenai jenis kegiatan dalam memanfaatkan waktu luang oleh Soekanto (1986:37) dijelaskan sebagai berikut:

  1. 1.       Rekreasi keluarga
  2. 2.       Olahraga
  3. 3.       Permainan
  4. 4.       Perkumpulan-perkumpulan sosial
  5. 5.       Kesenian
  6. 6.       Pendidikan untuk mendapatkan keterampilan / kursus
  7. 7.       Kelompok-kelompok persahabatan


            Berdasar pada beberapa penjelasan mengenai waktu luang dan kegiatan-kegiatan di waktu luang maka dapat dinyatakan bahwa dalam aktivitas di waktu luang mengandung unsur bermain, rekreasi, olahraga, sosialisasi, seni, dan pendidikan.

Rekreasi sebagai Sarana Pemanfaatan Waktu Luang
Aktivitas yang dapat digunakan untuk mengisi waktu luang adalah rekreasi. Marjono (1972:10) menjelaskan tentang rekreasi sebagai berikut: “Rekreasi adalah kegiatan yang dikerjakan oleh seseorang atau secara bersama-sama dengan orang lain dalam waktu-waktu senggang secara sadar serta sukarela untuk mendapatkan kesenangan, kepuasan serta kesegaran pribadi dengan langsung dan segera.”
Sapora dan Mitchell (1961:115) yang dikutip dari Butler menjelaskan: “Recreation may be considered as any form of leisure time experience or activity in which an individual engages from choice because of the enjoyment and satisfaction which it brings directly to him.” Maksudnya rekreasi dipertimbangkan sebagai bentuk pengalaman di waktu luang atau aktivitas terpilih yang dilakukan oleh individu untuk kesenangan dan kepuasan dirinya. Selanjutnya Bucher (1975:451) menjelaskan tentang pengertian rekreasi sebagai berikut:

Recreation is concerned with those activities in which a person participates during hours other than work. It implies that the individual has chosen activities in which to voluntarily engage because of an inner, self-motivating desire. Such participation gives him or her a satisfying experience and develops physical, social, mental and/or esthetic qualities contributing to a better existence.


Maksud penjelasan di atas, rekreasi adalah mengenai aktivitas yang menunjukkan partisipasi seseorang selama di luar jam kerja. Hal itu menunjukkan secara tidak langsung bahwa individu mempunyai pilihan aktivitas yang dilakukan secara sukarela yang disebabkan oleh sesuatu dalam diri, motivasi dalam diri. Seperti partisipasi untuk memperoleh suatu pengalaman yang memuaskan dan pengembangan fisik, sosial, mental dan atau kualitas keindahan yang memberikan kontribusi terhadap kehidupan.
Hurlock (1981:276) memberikan pengertian rekreasi sebagai, “An activity that renews strength and refreshes spirits after toil anxiety.” Maksudnya rekreasi adalah suatu aktivitas untuk memulihkan kekuatan dan menyegarkan semangat mengalami ketegangan akibat kerja keras.
Berdasarkan pengertian-pengertian dari rekreasi tersebut di atas, maka nampak ciri-ciri dari rekreasi itu sendiri. Ciri-ciri tersebut antara lain rekreasi merupakan aktivitas, dapat dilakukan sendiri atau bersama-sama, dorongan melakukan untuk memperoleh kepuasan dan kesenangan, dilakukan dengan sengaja, terprogram, dan dorongan melakukannya timbul dari diri sendiri.
Bucher (1975:451) membagi ciri-ciri rekreasi menjadi lima, yaitu: “1) Leisure time, 2) Enjoyable, 3) Voluntary, 4) Constructive, dan 5) Nonsurvival.” Kelima ciri tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, leisure time yaitu dilakukan pada waktu luang (senggang). Kedua, enjoyable maksudnya rekreasi dilakukan untuk kesenangan. Ketiga, voluntary maksudnya rekreasi dilakukan atas kemauan sendiri. Keempat, constructive maksudnya melalui kegiatan rekreasi dapat membangun (mengembangkan) kemampuan dan kreativitas yang ada. Kelima, yaitu nonsurvival maksudnya bahwa kegiatan rekreasi bukan merupakan kegiatan petualangan, contohnya ekspedisi ke suatu pegunungan.
Ciri yang lebih lengkap dikemukakan oleh Meyer dan Brightbill (1964:32) sebagai berikut:

Recreation can be identified by its many basic characteristics among there are: 1) Recreation involves activity …, 2) Recreation has no single form, this flexibility, in it self …, 3) Recreation is determined by motivation that which determines the choice or moves the will of a person to take a certain action is motivation, 4) Recreation is occurs in unobligated time, 5) Engagement in recreation is entirely voluntary, 6) recreation is universally practiced and sought, 7) Recreation is serious and purposeful, 8) Recreation is flexible, 9) Recreation has by-products.

Maksud penjelasan di atas yaitu rekreasi dapat diidentifikasi melalui berbagai karakteristik dasar diantaranya adalah: 1) rekreasi melibatkan aktivitas, 2) Rekreasi tidak memiliki bentuk permanen, bersifat fleksibel, 3) Rekreasi membutuhkan motivasi yang menentukan pilihan atau penggerakan keinginan seseorang untuk melakukan suatu aksi, 4) Rekreasi adalah terdapat dalam waktu yang tidak wajib, 5) Waktu yang digunakan dalam rekreasi bersifat sukarela, 6) Rekreasi bersifat universal, 7) Rekreasi dilakukan dengan sungguh-sungguh, 8) rekreasi bersifat fleksibel, 9) Rekreasi merupakan akibat.
Beberapa penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang bermotif rekreasi selalu dilakukan dalam waktu senggang, dilakukan secara sadar dan sukarela, untuk mendapatkan kesenangan, serta mengandung unsur kreativitas. Oleh karena itu rekreasi merupakan aktivitas yang tepat untuk dijadikan sarana pengisi waktu luang.

Bermain sebagai Sarana Pemanfaatan Waktu Luang

Kata dasar bermain adalah main yang berarti, “Perbuatan untuk menyenangkan hati (yang dilakukan dengan alat kesenangan atau tidak).” (Poerwadarminta, 1984:620). Sedangkan arti kata bermain itu sendiri oleh Poerwadarminta (1984:620) dijelaskan sebagai, “Melakukan sesuatu (dengan alat dan sebagainya) untuk bersenang-senang; berbuat sesuatu dengan bersenang-senang saja.” Dengan demikian maka bermain dapat dinyatakan sebagai aktivitas yang memberikan rasa senang dan bersifat hiburan.
Sukintaka (1991:1) menyatakan bahwa, “Bermain merupakan kata kerja sedangkan permainan merupakan kata benda. Individu bermain berarti individu mengerjakan suatu permainan, sedangkan permainan merupakan sesuatu yang dikenai kerja bermain.”  Lebih lanjut Sukintaka (1991:2) menjelaskan, “Peristiwa bermain itu merupakan peristiwa yang bersungguh-sungguh, namun bermain bukanlah suatu kesungguhan.”  Maksud kata kesungguhan di sini ialah merupakan kegiatan untuk memperoleh penghidupan atau bermain untuk memperoleh uang. Bigot dkk. (1950:272) menyatakan, “Bila bermain bertujuan untuk memperoleh uang atau untuk perbaikan rekor bukan merupakan permainan lagi.”  Sukintaka (1991:3) menambahkan, “Rasa senang bermain itu harus disebabkan karena bermain itu sendiri, bukan karena sesuatu yang terdapat di luar bermain.”

Senin, Maret 19, 2012


A.    Tes dan Pengukuran
Tes hampir tidak dapat dipisahkan dari pengertian pengukuran. Tes merupakan suatu alat yang digunakan untuk membantu dalam pengambilan keputusan yang menyangkut individu maupun kelompok. Berbagai kegiatan dalam kehidupan manusia seringkali membutuhkan adanya suatu tes dan pengukuran sebelum menentukan nilai terhadap suatu hal. Dalam penggunaannya tes merupakan serangkaian prosedur yang sistematis dan obyektif untuk memperoleh data guna menjelaskan hasil yang ingin diketahui baik secara deskriptif maupun evaluatif, seperti yang diungkapkan oleh Arikunto (1997:51) bahwa: “Tes merupakan prosedur sistematik dimana individual yang di tes direpresentasikan dengan suatu tes stimulasi jawaban mereka yang dengan menunjukkan ke dalam angka.”
Pengukuran dalam bidang keolahragaan merupakan bagian atau proses dari usaha pembinaan ke arah peningkatan prestasi yang maksimal. Dari hasil pengukuran dapat diperoleh informasi mengenai kekurangan-kekurangan atau kemajuan-kemajuan yang ada pada proses berlatih maupun belajar yang dilakukan. Pengukuran merupakan salah satu cara yang digunakan untuk membandingkan karakteristik individu dengan individu yang lainnya melalui suatu alat ukur yang berupa tes tertentu yang hasilnya dapat dinyatakan dalam bentuk angka atau kategori. Jadi sebelum mengambil keputusan tentang suatu masalah yang ingin diketahui terlebih dahulu harus diadakan pengukuran untuk memperoleh data yang obyektif yang bersifat kuantitatif. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Grounlund (1985:25) bahwa: “Measurment is the process of assigning numbers to individuals or their characteristic according to specific rules.” Maksudnya yaitu pengukuran adalah proses menetapkan peringkat untuk individu atau karakteristik mereka sesuai dengan aturan tertentu. Selain itu dijelaskan oleh Nurhasan (2000:08) adalah: “Pengukuran merupakan proses untuk memperoleh data atau informasi dari individu atau obyek.” Adapun menurut Arikunto (1997:139) adalah “Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan atau alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan, intelegensi kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok.”

B.     Fungsi Tes dan Pengukuran
Dalam dunia olahraga atau pendidikan olahraga, pengukuran dapat digunakan sebagai sarana untuk mengetahui perkembangan yang menyangkut kemampuan keterampilan dalam kegiatan belajar atau latihan, bahkan dengan pengetesan dan pengukuran akan diketahui kekurangan dan kemajuan serta keterampilan yang diperoleh dari hasil belajar atau latihan yang telah dilakukan. Jelas bahwa tes dan pengukuran memegang peranan yang penting dalam berbagai hal, baik dalam hal olahraga maupun bidang pendidikan. Jika suatu kegiatan tidak dibarengi dengan tes dan pengukuran, maka sulit untuk melihat kemajuan atau pun kekurangan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Nurhasan (1991:214) bahwa: “Bila suatu usaha tidak disertai dengan pengetesan dan pengukuran, maka sukar untuk dapat menyatakan adanya kekurangan ataupun kemajuan.” Adapun fungsi lain dari tes dan pengukuran, seperti yang dikemukakan oleh Nurhasan (1991:215-216) sebagai berikut:

a.       menafsirkan kemajuan para atlet
Pada permulaan latihan perlu diadakan tes awal latihan, kemudian berikan latihan-latihan yang telah disusun sesuai dengan program pembinaan olahraga, setelah beberapa minggu diadakan kembali pengetesan atau pengukuran mengenai hasil latihan yang telah diberikan
b.      Penentuan dan bimbingan
Adakan pengetesan dan pengukuran untuk mendapatkan beberapa kasus dari tiap-tiap atlet, berdasarkan hasil pengukuran tersebut akan memberikan bantuan dan petunjuk-petunjuk kepada para atlet agar dapat memahami dirinya, dengan demikian akan mempermudah dalam memberikan bimbingan untuk proses pembinaan selanjutnya.
c.       Pengelompokan kemampuan atlet
Penentuan atlet dalam tiap-tiap kelompok yang homogen dalam kecakapannya, akan mempermudah pelatih dalam memberikan instruksi dan memberikan bahan-bahan latihan untuk atlet binaannya, karena tidak semua atlet mempunyai kecakapan yang tinggi, ada pula atlet yang sangat lambat dalam perkembangannya dalam menguasai teknik yang di berikan. Untuk pengelompokan atlet tersebut diperlukan data yang obyektif, untuk mendapatkan data yang obyektif diperoleh dari hasil pengukuran.
d.      Pemberian motivasi dan dorongan
Setelah mengetahui setatus atlet dalam kelompoknya dengan pengetesan, pengukuran dan penilaian maka ia berusaha berlatih lebih giat lagi untuk mencapai kedudukan yang lebih baik. Dengan kata lain ia akan terasa ingin berlomba untuk menduduki ranking teratas.
e.       Pemberian instruksi
Untuk mengetahui apakah instruksi yang telah diberikan dapat diterima atau tidak, maka perlu memilih cara atau metode yang digunakan dalam memberikan instruksi atau cara-cara latihan yang lebih efektif. Dengan demikian perlu mengadakan pengetesan.
f.       Penelitian
Dari hasil pengetesan, pengukuran dan penilaian terhadap suatu aktivitas atau kegiatan, akan timbul masalah-masalah yang perlu diteliti lebih lanjut. Hasil penelitian ini sangat berguna bagi peningkatan prestasi.

 C.    Kriteria Tes
Sebelum memilih dan menggunakan suatu tes harus dipastikan terlebih dahulu bahwa tes tersebut telah dirakit (dikonstruk) secara alamiah dan memiliki beberapa macam kriteria yang telah disepakati oleh para ahli. Selain itu dalam pelaksanaannya pengukuran harus benar-benar teliti dan sesuai dengan apa yang hendak diukur.
Kriteria-kriteria dalam memilih tes akan memberikan petunjuk dan memberikan jalan dalam memilih suatu tes. Nurhasan (2000:25) menjelaskan, “Kriteria untuk memilih suatu tes yang baik akan memberikan gambaran yang sesungguhnya dari suatu obyek yang akan di ukur.” Untuk memilih suatu tes agar tes tersebut dianggap baik maka harus ada suatu kriteria. Kriteria yang dipakai dalam menilai suatu tes meliputi validitas, reliabilitas, obyektifitas, dan norma. Dari faktor-faktor tersebut yang paling utama yaitu faktor validitas dan reliabilitas. Nurhasan (2000:25) menjelaskan “Kriteria untuk mengukur suatu tes, dapat dipertimbangkan berdasarkan kriteria teknis dan kriteria pelengkap. Kriteria teknis meliputi kesahihan (validitas), keterandalan (reliability) dan obyektif (objektivity), sedangkan kriteria pelengkap meliputi pertimbangan aspek ekonomi, mudah dilaksanakan dan norma.”
Dilihat dari pendapat di atas ternyata bahwa validitas dan reliabilitas merupakan karakteristik sangat mendukung dalam pembuatan dan penentu suatu alat ukur yang baik dan tepat.

1.      Kesahihan (Validity)
Suatu alat tes dapat dikatakan valid apabilates tersebut dapat tepat mengukur apa yang hendak di ukur. Mengenai derajat kesahihan (validitas) suatu alat ukur, hal ini sesuai dengan Barrow dan Mcgee (1971:42) bahwa: “Validity is the most importance of the technical standars because it test the honesty of old test.” Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan mengenai jenis-jenis validitas sebagai berikut:

a.       Validitas isi (content validity)
Validitas isi menggambarkan derajat kesahihan suatu alat ukur atau tes yang berkualitas dengan isi atau materi yang diberikan. Suatu tes dikatakan mempunyai validitas isi apabila tes itu mengukur tujuan khusus tertentu sejajar dengan materi atau isi pelajaran yang diberikan. Jadi tes tersebut benar-benar mencangkup materi atau bahan yang telah diberikan atau sesuai dengan ruang lingkup materi yang diajarkan.
b.      Validitas kontruksi (construct validity)
Sebuah tes dikatakan telah memiliki validitas kontruksi, apabila butir-butir tes yang membangun tes itu mengukur aspek-aspek yang terdapat dalam konsep itu. Butir – butir tes itu di susun berdasarkan unsur-unsur yang terdapat dalam konsep itu misalnya kebugaran jasmani terdiri dari komponen-komponen: daya tahan, kekuatan, kecepatan, kelincahan, power, dan kelentukan. Maka tes kebugaran jasmani itu terdiri dari butir-butir tes yang terdiri dari butir-butir tes yang disusun atas dasar komponen-komponen tersebut yaitu tes daya tahan, tes kekuatan, tes kecepatan, tes kelincahan, tes power, dan tes kelenturan. Kesatuan dari butir-butir tersebut menggambarkan mengenai kebugaran jasmani seseorang.
c.       Validitas setara (concurrent validity)
Validitas ini lebih dikenal dengan validitas empiris. Sebuah tes dikatakan memiliki validitas empiris apabila hasil tes itu sesuai dengan pengalaman. Hasil tes itu dibandingkan dengan tes standar, maka dikatakan bahwa tes valid, karena sesuai dengan standar, sebagai kriteria yang digunakan.
d.      Validitas prediksi
Sebuah tes dikatakan memiliki validitas prediksi atau validitas ramalan, apabila tes tersebut memiliki kemampuan untuk meramalkan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Misalnya tes masuk keperguruan tinggi (tes UMPTN) sebuah tes diperkirakan mampu meramalkan keberhasilan peserta tes dalam mengikuti kuliah di masa yang akan datang. Para calon yang diterima berdasarkan tes itu, diharapkan mencerminkan hasil belajarnya mencapai nilai yang baik dalam hasil belajarnya, sebaliknya yang bila mahasiswa tersebut pada akhir semester satu (misalnya) memperoleh nilai rendah dari mahasiswa lainnya yang skor / hasil ujian saringan masuknya lebih rendah, maka tes masuk tersebut dikatakan tidak memiliki validitas prediksi.
Adapun teknik yang digunakan untuk mencari kesesuaian atau kesejajaran suatu tes adalah teknik korelasi. Pendekatan teknik korelasi oleh Person yang di kutip oleh Arikunto (1997:67) dilakukan dengan dua cara yaitu: “1) teknik korelasi product moment dengan simpangan dan 2) teknik korelasi dengan angka kasar.” Berkaitan dengan penelitian ini, pendekatan teknik korelasi yang digunakan adalah teknik korelasi product moment.

 2.      Keterandalan (Reliability)
Keterandalan ini menggambarkan derajat keajegan atau konsistensi hasil pengukuran. Suatu alat ukur atau tes dikatakan variabel jika alat pengukur itu menghasilkan suatu gambaran yang benar-benar dapat dipercaya dan dapat diandalkan untuk membuahkan hasil pengukuran yang sesungguhnya. Jika alat tersebut reliabel, maka pengukuran yang dilakukan berulang-ulng dengan memakai alat yang sama terhadap obyek dan subjek yang sama hasilnya akan tetap atau relatif sama. Kata reliabilitas dalam bahasa Indonesia diambil dari kata reliability dalam bahasa Inggris, berasal dari kata reliable yang artinya dapat dipercaya. (Arikunto, 1997:58).
Keterandalan suatu alat pengukur atau tes dapat diperoleh melalui tiga cara, hal ini diungkapkan oleh Nurkancana dan Sumartana (1982:126-127) bahwa:

a.       Keterandalan yang diperoleh melalui pengukuran ulang (Test-retest)
Untuk mengetahui besarnya derajat keterandalan suatu alat pengukur dapat dilakukan dengan dua kali cara pengukuran yaitu, pengukuran pertama dan ulangannya. Untuk pelaksanaan pengukuran ini harus diperhatikan bahwa proses pengukuran pertama hendaknya tidak mewarnai hasil pengukuran kedua, kondisi pelaksanaan pengukuran kedua (harus benar-benar) dalam keadaan yang tetap sama. Selanjutnya hasil pengukuran yang pertama dan yang kedua dikorelasikan dan hasilnya menunjukkan kenyataan derajat keterandalan (reliabilitas) alat pengukur tersebut.
b.      Keterandalan yang diperoleh melalui teknik belah dua
Dalam teknik ini tes yang telah diberikan kepada sekelompok subyek dibelah menjadi dua bagian, kemudian tiap-tiap bagian diberikan skor secara terpisah, ada dua prosedur yang dapat dipergunakan untuk membelah dua tes yaitu, prosedur ganjil-genap, artinya seluruh item yang bernomor ganjil dikumpulkan menjadi satu kelompok, dan seluruh item yang bernomor genap menjadi kelompok yang lain, dan prosedur secara random, misalnya dengan jalan lotre atau dengan menggunakan tabel bilangan random.
c.       Teknik bentuk paralel
Tes paralel atau tes ekuivalen adalah dua buah tes yang mempunyai kesamaan tujuan, tingkat kesukaran dan susunan, tetapi butir-butir soalnya berbeda. Dalam metode bentuk paralel ini, dua tes yang paralel, misalnya tes yang pertama yang akan dicari reliabilitasnya dan tes kedua diteskan kepada kelompok atlet yang sama kemudian hasilnya dikorelasikan. Berkaitan dengan penelitian ini, maka untuk menguji keterandalan tes digunakan teknik test-retest.

 3.      Obyektivitas (objektivity)
Batasan obyektivitas dijelaskan oleh Barrow dan Mcgee (1971:38) bahwa: “Objektivity is the first of the technical the standars to be considered”. Selain itu dijelaskan oleh Nurhasan (2000:35) bahwa: ”Objektivitas adalah derajat kesamaan hasil dari dua atau lebih pengambilan tes (testor)”.  
Obyektivitas dengan keterandalan pada dasarnya memiliki kemiripan dalam pengertiannya dalam definisi obyektivitas sama halnya dengan definisi keterandalan, hanya saja dari keduanya terdapat perbedaan serta persamaannya. Arikunto (1997:59) menjelaskan, “Apabila dikaitkan dengan reliabilitas maka obyektivitas menekankan ketetapan (consistency) pada sistem scoring, sedangkan reliabilitas menekankan ketetapan dalam hasil tes.”

Membangun Kesiapan Mental Pada Atlet


Oleh: Pudji Susilowati, S.Psi

Beberapa waktu lalu, atlet-atlet kita berjuang untuk memperebutkan piala Thomas dan Uber Cup. Sayangnya tim Thomas dan Uber kita belum berhasil. Tentunya, kegagalan ini menyisakan kekecewaan dan tanda tanya pada sebagian besar masyarakat kita, mengapa team andalan kita kalah. Namun di setiap kejadian pasti ada hikmahnya, karena kita harus belajar dan menganalisa di mana letak kelemahan yang perlu dikelola dan diperbaiki.

Keberhasilan seorang atlet ditentukan oleh kesiapan fisik dan mental. Kondisi psikis atau mental akan mempengaruhi performance atlet baik saat latihan maupun saat bertanding. Coba Anda bayangkan, jika sebelum bertanding sang atlet mengalami cek cok berat dengan keluarganya, amat mungkin jika situasi itu mempengaruhi kestabilan emosi, daya konsentrasi dan menguras energi. Contoh lain, jika sebelum bertanding sang atlet kurang memiliki kesiapan mental menghadapi lawan yang berat sehingga timbul keraguan yang besar dan rasa tidak percaya diri yang menghalangi kemampuannya untuk tampil optimal. 

Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika sejak dini, soal membina kesiapan mental atlet menjadi porsi yang penting agar masalah kepribadian dan konflik-konflik sang atlet dapat dikelola dengan baik sehingga ia tetap tampil optimum. 

Pentingnya Kesiapan Mental Bagi Atlet

Stress sebelum bertanding adalah hal yang lumrah, namun mampu mengelola stress atau tidak adalah sebuah kemampuan yang harus ditumbuhkan. Stress bisa jadi pemicu semangat dan motivasi untuk maju, namun stress berlebihan bisa berdampak negatif. Tanpa kesiapan mental, sang atlet akan sulit mengubah energi negative (misal, yang dihasilkan dari keraguan penonton terhadap kemampuan sang atlet) menjadi energi positif (motivasi untuk berprestasi) sehingga akan menurunkan performancenya (dengan gejala-gejala sulit berkonsentrasi, tegang, cemas akan hasil pertandingan, mengeluarkan keringat dingin, dll). Bahkan sangat mungkin jika sang atlet terpengaruh oleh energi negatif para penonton.

Faktor penentu
Urusan energi dan emosi begitu signifikan dampaknya bagi prestasi dan penampilan sang atlet, sementara kita tidak bisa mensterilkan atlet dari masalah yang datang dan pergi dalam kehidupannya. Namun jika ditelaah, rupanya menurut Nasution (2007) ada beberapa faktor yang menentukan mudah tidaknya seorang atlet terpengaruh oleh masalah. 

1. Berpikir positif
Bisa atau tidaknya seorang atlet berpikir positif, bisa mempengaruhi mentalitasnya di lapangan. Kemampuan menemukan makna dari tiap peluang, event, situasi, serta orang yang dihadapi adalah cara untuk menimbulkan pikiran positif. Sering terdengar bahwa pemain A atau B tidak terduga bisa memenangkan pertandingan padahal targetnya adalah berusaha main sebaik mungkin. Alasannya, karena lawannya bagus dan pertandingan ini jadi moment penting untuk meng up grade kualitas diri dan permainannya. Artinya, sang atlet mampu melihat sisi lain yang membuat dirinya tidak terbebani ambisi. Pikiran rileks dan focus pada permainan berkualitas akhirnya mempengaruhi sikap atlet tersebut saat bertanding dimana ia jadi berhati-hati dan cermat dalam proses, dan tidak grasah grusuh ingin cepat-cepat mencetak skor. 

Jadi, pikiran positif bisa menggerakkan motivasi yang tepat, sehingga mengeluarkan besaran energi dan tekanan yang tepat untuk menghasilkan tindakan konstruktif. Dampaknya bisa beragam, bisa kerja sama yang baik, performance yang optimum, atau pun kemenangan. 

2. Motivasi
Tingkat motivasi dan sumber motivasi atlet akan mempengaruhi daya juangnya. Kalau kurang termotivasi, otomatis daya juangnya pun kurang. Kalau highly motivated, maka daya juangnya juga tinggi. Kalau sumber motivasi ada di luar (ekstrinsik), maka kuat lemahnya daya juang sang atlet pun sangat situasional, tergantung kuat lemah pengaruh stimulus. Contoh, makin besar hadiahnya, makin kuat daya juangnya. Makin kecil hadiahnya, makin kecil usahanya. 

Yang paling baik jika sumber motivasi ada di dalam diri, tidak terpengaruh cuaca apalagi iming-iming hadiah. Atlet yang memiliki motivasi berprestasi tinggi, maka sejak awal berlatih dia sudah secara konsisten dan persisten mengusahakan yang terbaik. Kepuasannya terletak pada keberhasilannya untuk mencapai yang terbaik di setiap tahap proses latihan, bukan hanya saat bertanding. Masalah yang ada pasti punya pengaruh, namun selama motivasi internalnya kuat, atlet tersebut mampu untuk sementara waktu menyingkirkan beban emosi yang dirasa memperberat gerakannya. 

3. Sasaran yang jelas
Mengetahui sejauh mana dan setinggi apa sasaran yang harus dicapai, mempengaruhi tingkat daya juang, usaha dan kualitas tempur atlet. Sementara, ketidakpastian bisa melemahkan motivasi. Ketidakpastian ini bentuknya beragam. Kalau tidak jelas siapa musuhnya, sasarannya, medan perangnya, tingkat kesulitannya, targetnya, waktunya, akan membuat sang atlet kebingungan dan energi nya juga tidak fokus, strategi nya pun tidak spesifik dan standar kualitas nya jadi tidak bisa ditentukan, bisa terlalu rendah bisa juga terlalu tinggi. Dalam keadaan membingungkan seperti ini, atlet jadi sangat rentan terhadap masalah. 

4. Pengendalian emosi
Ketidakmampuan mengendalikan emosi bisa mengganggu konsentrasi dan keseimbangan fisiologis. Pengendalian emosi tidak bisa muncul dalam semalam, karena sudah menjadi bagian dari kepribadian atlet. Hal ini bukan berarti tak bisa dirubah, namun perlu proses untuk mengembangkan kemampuan mengelola emosi dengan proporsional. Jadi, kalau atlet tersebut masih punya masalah dalam pengendalian emosi, maka dia lebih mudah terstimulasi oleh berbagai masalah apapun bentuknya, entah itu kelakuan penonton / supporter, sikap pelatih, tindakan teman-temannya, dsb.

5. Daya tahan terhadap stress
Jika tingkat stres berada di atas ambang kemampuan sang atlet dalam memanage stresnya maka akan mengakibatkan prestasi atlet menurun, namun jika tingkat stres berada dibawah ambang maka atlet tidak akan termotivasi untuk berprestasi. Jika tingkat stres berada pada level toleransi kemampuannya maka atlet akan mampu berprestasi. 

6. Rasa percaya diri
Kurangnya rasa percaya diri akan mempengaruhi keyakinan dan daya juang sang atlet. Masalah yang muncul saat berlatih maupun bertanding bisa saja memperlemah rasa percaya dirinya, meski sang atlet sudah berlatih dengan baik. Apalagi jika masalah yang dihadapi berkaitan dengan konsep dirinya. Misalnya, sang atlet selalu memandang dirinya kurang baik, kurang sempurna, maka seruan "uuuuuu" penonton bisa dianggap konfirmasi atas kekurangan dirinya, meskipun pada kenyataannya atlet tersebut tergolong berprestasi. 


7. Daya konsentrasi
Atlet yang punya kemampuan konsentrasi tinggi, cenderung mampu mempertahankan performance meski ada gangguan, interupsi atau masalah. Kalau daya konsetrasi atlet rendah, maka ia mudah melakukan kesalahan jikalau terjadi interupsi baik saat latihan maupun pertandingan. 


8. Kemampuan evaluasi diri
Kemampuan evaluasi ini juga diperlukan untuk melihat hubungan antara masalah dengan performance-nya. Tanpa kemampuan untuk melihat ke dalam, atlet akan terjebak dalam masalah dan kesalahan yang berulang. 


9. Minat
Jika si atlet memang memiliki minat yang tinggi pada cabang olahraga yang dipilihnya maka ia akan melakukan olahraga tersebut sebagai suatu kesenangan bukan sebagai beban. 

10. Kecerdasan (emosional dan intelektual)
Kecerdasan emosional dan intelektual merupakan elemen yang dapat memproduksi kemampuan berpikir logis, obyektif, rasional serta memampukannya mengambil hikmah yang bijak atas peristiwa apapun yang dialami atau siapapun yang dihadapi.
Faktor-faktor tersebut di atas menjadi PR bagi setiap atlet dan bukan semata-mata PR pelatih karena justru faktor tersebut berkaitan erat dengan dunia internal sang atlet. Keberadaan pelatih sangat penting, namun kemauan dan usaha keras pihak atlet lebih menentukan tingkat keberhasilan maupun prestasinya. Inisiatif untuk memperbaiki diri atau mengembangkan sikap mental positif lebih terletak pada atlet dari pada pelatih. Bagaimana pun juga, perubahan yang dipaksakan dari luar, hasilnya tidak efektif, malah bisa menimbulkan problem serius. 

Peran pelatih dalam membina kesiapan mental atlet
Tidak ada jalan pintas untuk membina kesiapan mental seseorang termasuk atlet, dan tidak ada jalan pintas bagi atlet untuk sampai pada prestasi puncak. Perlu kerja sama yang baik antara atlet dengan Pembina atau pelatihnya. Menurut Karyono (2006), pelatih diharapkan menjadi konselor yang mampu memahami karakter atlet asuhannya dan bisa memberikan bimbingan yang konstruktif terutama untuk membangun kesiapan dan kekuatan mental. Beberapa hal yang dibutuhkan oleh atlet:

1. Giving encouragement than criticism 
Sikap dan kata-kata pelatih most likely akan didengar dan dipercaya oleh atlet asuhannya. Jika pelatih mengatakan atletnya buruk, lemah, payah, bisa ditunggu dalam beberapa waktu kemudian kemungkinan atlet tersebut akan lemah dan payah. Meski pelatih dituntut untuk tetap jujur dalam memberikan opini dan penilaian, namun hendaknya opini dan penilaian tersebut sifatnya obyektif dan rasional, bukan emosional. Kata-kata kasar yang bersifat melecehkan atau menghina, lebih menjatuhkan moral daripada menggugah semangat.

2. Respect
Relasi yang sehat antara pelatih dan atlet jika di antara keduanya ada sikap saling menghargai. Pelatih memotivasi, menempa mental dan skill ke arah pengembangan diri atlet. Kemampuan untuk menghargai, membuat hubungan antara keduanya tidak bersifat manipulative, saling memanfaatkan. Terkadang tanpa sadar, atlet memanfaatkan pelatih maupun bakatnya sendiri untuk ambisi yang keliru dan pelatih juga menggunakan atlet sebagai extension of her/his image. True respect, mendorong pelatih untuk tahu apa kebutuhan sang atlet; dan mendorong atlet untuk menghargai eksistensi pelatih sebagai orang yang mendukungnya mencapai aktualisasi diri. 

3. Realistic Goal
Sasaran realistik harus ditentukan dari awal supaya baik pelatih dan atlet, bisa menyusun break down planning & target. Sasaran harus menantang tapi realistis untuk dicapai. Sasaran yang tidak realistik bisa membuat atlet minder, inferior, atau jadi terlalu percaya diri, overestimate self karena terlalu yakin dirinya sanggup dan pantas untuk jadi juara.

4. Problem Solving
Siapapun bisa terkena masalah, baik pelatih maupun atletnya. Pelatih yang bijak mampu mendeteksi perubahan sekecil apapun dari atlet asuhannya yang bisa mempengaruhi kestabilan emosi, konsentrasi dan prestasi. Perlu pendekatan yang tulus untuk membicarakan kendala atau problem yang dialami atlet supaya bisa menemukan sumber masalah dan mencari penyelesaian yang logis. Jika sang atlet punya masalah dalam mengendalikan kecemasan sebelum bertanding, maka pelatih bisa mengajaknya menemukan sumber kecemasan dan mengajarkan untuk berpikir logis dan rasional. Pelatih bisa memotivasi atlet mengingat momen-momen paling berkesan yang dialaminya dan me review proses yang mendorong keberhasilan di masa lalu. Selain itu, relaksasi progresif (relaksasi otot) dan latihan pernafasan juga bermanfaat menurunkan ketegangan. 

5. Self awareness
Atlet perlu dibekali cara-cara pengendalian emosi yang sehat supaya ia bisa me-manage kesuksesan maupun kegagalan secara rasional dan proporsional. Ketidakmampuan me-manage kesuksesan bisa membuat atlet lupa daratan karena self esteemnya melambung, sementara kegagalan bisa membuat atlet depresi karena melupakan kemampuan aktualnya. Oleh sebab itu, atlet juga perlu didorong untuk mengenal siapa dirinya, mengetahui dimana kelemahan dan kelebihannya secara realistik, dan memahami di mana titik rentan diri yang perlu di kelola dengan baik. Jika atlet punya pengenalan diri yang proporsional, ia cenderung lebih aware dan prepare terhadap berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. 

6. Managing stress and emotion
Managing emotion juga terkait erat dengan pengenalan diri. Atlet yang bisa mengenal dirinya, akan tahu kecenderungan reaksinya dan dampak dari emosinya terhadap diri sendiri maupun orang lain. Oleh karena itu, pelatih perlu berdiskusi bersama atletnya, hal-hal apa saja yang membuat atlet-atletnya merasa senang, marah, sedih, cemas, dll dan mengenalkan alternative pengendalian emosi. Pengendalian emosi yang sehat, akan mengembangkan ketahanan terhadap stress karena tidak ada penumpukan emosi yang membebani diri dan membuat energy bisa digunakan untuk hal-hal yang produktif. 

7. Good interpersonal relation
Hubungan baik dan tulus, jujur dan terbuka antara atlet dan pelatih, bisa memotivasi atlet secara positif. Rasa tidak percaya, tidak mau terbuka, jaim (jaga image), akan mendorong hubungan kearah yang tidak sehat di antara kedua belah pihak. Sikap terbuka dan jujur ini hendaknya sejak awal di tunjukkan oleh pelatih sebagai role model bagi para atlet binaannya. Mengkomunikasikan tujuan, harapan, kritikan (konstruktif), masukan, perasaan, pendapat, kendala bahkan terbuka terhadap kekurangan dan kelebihan diri sendiri akhirnya bisa jadi budaya positif yang membantu para atlet membangun sikap mental positif. 

Bagaimana pun juga, menang atau kalah merupakan hal yang biasa dalam sebuah pertandingan. Oleh karenanya, setiap pelatih perlu mentransfer tidak hanya keahlian dan ketrampilan namun juga sikap mental yang benar. Punya keahlian namun tidak didukung sikap mental yang dewasa salah-salah bisa membawa dampak yang tidak diharapkan. Semoga dengan pembahasan ini, baik dari pihak atlet maupun pelatih sama-sama melihat pentingnya membangun sikap mental yang kuat untuk mendukung prestasi atlet di lapangan, maupun dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Mari kita beri support atlet-atlet kita! Semoga bermafaat. Maju terus atlet Indonesia!

Jakarta, 23 Juni 2008

Daftar Pustaka
Karyono, 2006. Sang Juara Harus Dicetak. Majalah Psikologi Plus, Edisi Juli 2006.
Nasution, Y. (2007) Latihan Mental Bagi Atlet

Rabu, Maret 14, 2012

Hakikat Kekuatan Tungkai

Kekuatan merupakan dasar dari kondisi fisik yang sangat berperan dalam pencapaian suatu prestasi. Hampir setiap cabang olahraga membutuhkan kekuatan dalam usaha memperoleh hasil yang lebih baik. Tentang hal ini oleh Harsono (1988:177) dijelaskan sebagai berikut:

Kekuatan otot adalah komponen yang sangat penting (kalau bukan yang paling penting) guna meningkatkan kondisi fisik secara keseluruhan. Mengapa? Pertama, oleh karena kekuatan merupakan daya penggerak setiap aktivitas fisik. Kedua, oleh karena kekuatan memegang peranan yang penting dalam melindungi atlet/orang dari kemungkinan cedera. Ketiga, oleh karena dengan kekuatan atlet akan dapat lari lebih cepat, melempar atau menendang lebih jauh dan lebih efisien, memukul lebih keras demikian pula dapat membantu memperkuat stabilitas sendi-sendi.

Adapun pengertian atau batasan dari kekuatan itu sendiri oleh Giriwijoyo (1992:65) dijelaskan, “Kekuatan adalah kemampuan otot untuk mengembangkan tegangan maksimal tanpa memperhatikan faktor waktu.” Kemudian Harsono (1988:176) menyatakan, “Strength adalah kemampuan otot untuk membangkitkan tegangan terhadap sesuatu tahanan.” Selanjutnya Wessel (1973:3) mengatakan, “Muscular strength in human movement is the ability to exert to overcome to resistance.”

Ajan dan Baroga (1988:19) menjelaskan, “Kekuatan merupakan kapasitas manusia untuk menahan beban dan diukur dalam kilogram.” Sugiyanto (1993:19-20) menjelaskan, “Kekuatan adalah kemampuan fisik yang dihasilkan dari kemampuan kontraksi otot dalam mengangkat atau menahan beban, semakin besar penampang otot maka makin besar pula yang bisa dihasilkan.” Lebih lanjut Ajan dan Baroga (1988:19) menjelaskan, “Kualitas kekuatan sangat bergantung pada kegiatan sistem syaraf pusat, pada potongan fisiologis otot, proses biokimia yang terjadi di dalam otot, dan juga pada pengerahan kemauan dan pemusatan konsentrasi atlet yang bersangkutan.” Aspek sistem syaraf pusat dalam hubungannya dengan kekuatan yaitu melalui rangsangan mengangkat beban maksimal, dengan mengangkat beban maksimal dalam jumlah ulangan kecil dapat merangsang kualitas kekuatan atlet. Kondisi fisiologis otot sangat berperan dalam menentukan kualitas kekuatan, dengan latihan yang teratur, kontinyu dan mengkonsumsi protein dalam masa latihan akan meningkatkan kualitas kekuatan. Mengenai aspek biokimia, kekuatan kontraksi otot tergantung dari ciri rangsangan syaraf, cara penyampaian rangsang serta kerja ATP (Adenosin Triposfat) terhadap myosin di dalam otot karena akan mempengaruhi kemampuan otot dalam bekerja. Pengerahan kemauan yang keras dan konsentrasi pada saat latihan, bertanding dan segala hal yang akan dilakukan sangat menentukan kualitas kekuatan yang dimiliki seorang atlet. Dengan demikian maka jelaslah bahwa kekuatan adalah komponen kondisi fisik dasar dan memberikan peranan yang sangat penting terhadap pencapaian suatu prestasi.

Cara yang paling berhasil dan paling populer dalam meningkatkan kekuatan adalah dengan resistance exercise atau latihan-latihan tahanan, maksudnya latihan mengangkat, mendorong atau menarik suatu beban, baik beban sendiri maupun bobot lain dari luar (external resistance).

Pengembangan kualitas kekuatan yang dilakukan harus mengeluarkan suatu usaha maksimal atau hampir maksimal untuk menahan atau mengangkat beban yang ada. Demikian pula dengan beban yang diberikan harus bertambah sedikit demi sedikit agar kualitas otot dapat berkembang dengan baik (progressive resistance training).

Harsono (1986:48) mengatakan, “Latihan tahanan menurut macam kontraksi ototnya dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu isotonic contraction dan isometric contraction”. Dalam isotonic contraction akan tampak suatu gerakan dari anggota-anggota tubuh, hal ini disebabkan karena memanjang dan memendeknya otot tersebut, tipe kontraksi disebut juga dynamic contraction. Sedangkan isometric contraction, otot-otot tidak memanjang atau memendek sehingga tidak akan tampak suatu gerakan yang nyata atau dengan kata lain tidak ada jarak yang ditempuh, tipe kontraksinya disebut static contraction.

Kontraksi otot yang merupakan kombinasi dari kontraksi isotonis dan kontraksi isometris disebut kontraksi auxotonis. Ini dimungkinkan karena kontraksi manusia tidak murni isometris atau murni isotonis saja, misalnya saat mengangkat beban, otot harus meningkatkan tegangan intern (fase isometric). Baru setelah itu otot mampu melaksanakan kerja mekanis melalui pemendekan serabut-serabut ototnya (fase isotonic). Jadi tanpa melakukan fase isometris dan fase isotonis tidak dapat dilakukan. (Ajan dan Baroga, 1988:6).

Ajan dan Baroga (1988:90-93) menjelaskan bahwa latihan-latihan yang dipakai untuk meningkatkan kekuatan otot tungkai di antaranya:

1. Front Squat.

2. Back Squat.

3. Jongkok dengan barbell di belakang badan, lengan lurus dekat badan.

4. Lompat maju beberapa kali dengan barbell di punggung.

5. Leg Press.

6. Toe Raises dengan barbell di punggung.

7. One-legged toe raises dari sikap duduk.

8. Fleksi paha ke arah dada dengan barbell di atas lutut.

9. Naik turun bangku dengan barbell di punggung.